Kecilnya kenaikan anggaran dalam APBN 2010 dibandingkan dengan anggaran sebelumnya mengisyaratkan pemerintah mulai kesulitan mencari sumber pembiayaan. Besarnya kenaikan anggaran itu hanya sekitar Rp 3,8 triliun .
Untuk memperbesar sumber pembiayaan negara pada tahun 2010, pemerintah, antara lain, berupaya meningkatkan pendapatan dari pajak. Direncanakan, penerimaan pajak tahun 2010 akan ditingkatkan menjadi Rp 729 triliun dari sebelumnya sebesar Rp 661 triliun.
Namun, di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih akibat krisis finansial global, kebijakan pemerintah untuk menaikkan pajak itu dinilai kurang tepat oleh banyak pihak. Alasannya, kenaikan pajak akan semakin melemahkan kemampuan usaha/ perusahaan dan berpotensi mengalami kebangkrutan. Pada gilirannya, kebijakan menaikkan pajak justru kian memperparah dampak krisis finansial global.
”Trade-off” pajak
Dengan gulung tikarnya perusahaan, otomatis jumlah usaha/perusahaan berkurang sehingga penerimaan pajak ikut berkurang. Dampak lainnya, melemahnya daya beli masyarakat sehingga berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Maka, ada trade-off antara kenaikan pajak dan penurunan pendapatan pemerintah. Bahkan, semakin tinggi kenaikan pajak berpotensi semakin menurunkan pendapatan pemerintah. Ada dua faktor yang mendasari terjadinya trade-off antara kenaikan pajak dan penurunan pendapatan, yakni efek aritmatika dan ekonomi.
Efek aritmatika menunjukkan kenaikan pendapatan negara yang semakin besar akibat kenaikan pajak yang semakin tinggi. Celakanya, efek aritmatika itu akan mengalami titik jenuh lalu berbalik menjadi efek negatif terhadap penerimaan negara. Sebab, kenaikan pajak akan menimbulkan efek ekonomi yang kian besar jika kenaikan pajak semakin tinggi. Konkretnya, semakin tinggi pajak akan semakin melemahkan aktivitas ekonomi yang pada gilirannya semakin menurunkan penerimaan pemerintah.
Keterkaitan antara kenaikan pajak dan penerimaan pendapatan itu bisa divisualisasikan dengan Kurva Laffer (Arthur B Laffer, The Laffer Curve: Past, Present, and Future, 2004). Kurva itu menggambarkan, jika besarnya pajak sebesar nol persen, tidak ada pendapatan pemerintah dari pajak sehingga pemerintah kesulitan dalam membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan.
Sebaliknya, jika pajak ditetapkan sebesar 100 persen, seluruh pendapatan masyarakat akan menjadi pendapatan pemerintah. Namun, hampir dapat dipastikan, jika pajak 100 persen, tidak akan ada penduduk yang bekerja dan/ atau melakukan aktivitas ekonomi. Atas dasar itu, besarnya pajak harus berada 0-100 persen.
Namun, pajak yang semakin mendekati angka nol atau seratus tidak akan menguntungkan ketiga pilar sekaligus: pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Sebab, dengan pajak yang kian mendekati nol atau seratus akan semakin menurunkan produktivitas, pertumbuhan ekonomi, dan mengurangi kesempatan kerja (Laffer, 2004).
Penetapan pajak
Maka, dengan mencermati trade-off antara kenaikan pajak dan penurunan pendapatan, pemerintah perlu menetapkan pajak yang tidak terlalu membebani usaha/perusahaan, tetapi berpotensi meningkatkan penerimaan pemerintah atas pajak dan memacu pertumbuhan ekonomi.
Langkah seperti itu ternyata telah lama dipraktikkan Amerika Serikat melalui proxy pajak pendapatan. Diketahui, besarnya pajak pendapatan di negara Paman Sam itu pernah mencapai angka 94 persen pada tahun 1944. Presiden John F Kennedy kemudian berupaya menurunkannya menjadi 70 persen tahun 1965. Atas penurunan pajak itu, hasil evaluasi menunjukkan naiknya pendapatan negara dengan rata-rata 9,0 persen per tahun akibat meningkatnya pertumbuhan ekonomi.
Selanjutnya, Presiden Ronald Reagan berupaya kembali menurunkan besarnya pajak pendapatan dari 70 persen menjadi 50 persen tahun 1981. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi meningkat rata-rata 4,8 persen per tahun selama 1983-1986 daripada periode sebelumnya (1978-1982) dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 0,9 persen per tahun (Laffer, 2004).
Kebijakan menurunkan pajak pada era kepemimpinan Barack Obama terus berlanjut tetapi dengan perumusan berbeda. Adapun kebijakan pajak yang dijalankan adalah menaikkan pajak orang kaya dan menurunkan pajak untuk yang lain. Kebijakan ini amat menguntungkan penduduk berpendapatan rendah. Setelah dipotong pajak, penduduk berpendapatan terendah akan menikmati kenaikan pendapatan sebesar 2,4-5,5 persen, sedangkan pendapatan penduduk kaya akan berkurang 8,7 persen. Secara keseluruhan, terjadi penurunan pajak sekitar 0,3 persen atau setara dengan 160 dollar AS (CNNMoney.com, 11/6/2009).
Adapun alasan utama diterapkan kebijakan pajak itu adalah untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang pada gilirannya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini perlu dilakukan mengingat proporsi penduduk berpendapatan rendah di AS amat besar dibandingkan dengan penduduk kaya sehingga amat potensial dalam menggerakkan ekonomi.
Maka, atas dasar itu, pemerintah perlu berhati-hati sebelum memutuskan kenaikan pajak. Sebab, selain berpotensi menurunkan penerimaan negara, peningkatan pajak juga bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi, yang akan memperberat dampak krisis finansial global.
Sebenarnya, masih cukup ruang bagi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak tanpa harus menaikkan pajak. Sesuai saran banyak pihak, pemerintah perlu melakukan ekstensifikasi pajak bukan dengan membuat pajak baru, tetapi dengan menemukan potensi yang hilang akibat transaksi ekonomi, yang pada tahun 2010 diperkirakan berjumlah Rp 280 triliun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar